Pagi dini hari sekitar pukul 02.12 WIB, hujan turun deras
seakan ingin membangunkan warga Kampung Cilimus,
Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung dan Kelurahan
Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat - yang sedang tertidur lelap. Waktu
yang tak pernah terlupakan tentunya, disaat yang bersamaan - suara gemuruh
terdengar jelas ditelinga yang ternyata adalah longsoran sekitar 6,5 ha sampah
setinggi 20 meter, dengan luas mencapai 23,6 ha menimbun wilayah tempat tinggal
mereka. Keganasan timbunan sampah itu telah menelan korban sebanyak lebih dari 100
(seratus) jiwa dan sekitar 81 (depalan puluh satu) rumah tertimbun akibatnya.
Benar, kejadian itu terjadi di hari senin, tanggl 21 februari 2005 silam.
Jeritan minta
tolong dan isak-tangis pun tak terbendung warga yang berhasil selamat maupun
yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Rasa
sakit yang diderita seakan tidak terasa lagi demi menyelamatkan diri dari
kejaran longsoran timbunan sampah – hingga sampai proses evakuasi pun
berlangsung. Tidak hanya keluarga mereka yang merasakan akibat dari musibah
ini, tetapi juga berdampak pada Kota Bandung yang menjadikan TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) Leuwi Gajah sebagai TPA utama. Sehingga masalah ini berlarut
hingga tahun 2006 dan menjadi isu Nasional, karena TPA tidak bisa beroperasi
lagi sampah menumpuk di hampir semua TPS di Kota Bandung. Tragedi longsoran sampah
terbesar ke dua di dunia (setelah Philipina) sempat menjadikan Kota Bandung sebagai
kota “Lautan Sampah”.
Belajar
dari kesalahan
Tradegi yang
mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia itu memberikan pelajaran kepada
kita, bahwa mengelola sampah dengan menumpuk dan atau meinimbun sampah adalah
tindakan yang tidak tepat. Sampah yang bertumpuk dan bercampur antara sampah
basah dan sampah kering (sampah organis dan non-organis) mengakibatkan
terkumpulnya gas Methan yang pada waktu tertentu dapat meledak, seperti yang telah
terjadi 21 februari 2005 silam.
Sudah saatnya
kita mengelola masalah persampahan dengan sistem desentralisasi dan
meninggalkan sistem sentralisasi yang
selama ini kita terapkan dengan pola “kumpul-angkut-buang” ke TPA. Sistem Desentralisasi adalah system pengolaan
sampah dengan memusatkan pengelolaan sampahnya lebih dekat pada sumber sampah
itu sendiri. Jika setiap kita bisa mengelola sampah yang kita hasilkan
masing-masing, maka sekitar 70% (tujuh puluh persen) permasalahan sampah dapat
terselesaikan.
Timbulan
Sampah Terus Meningkat Setiap Tahun
Menurut standar
SNI 19-3964-1994 sampah kota seperti Bandung setiap jiwa menghasilkan 2-2,5
liter sampah/orang atau dalam satuan berat 0,40-0,50kg (kilo gram)
sampah/orang. Jika dihitung, maka grafik persampahan Kabupaten Bandung Periode
tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 dapat dilihat pada gambar grafik berikut:
Dari grafik
diatas kita bisa melihat bahwa dari tahun ke tahun, produksi sampah di
Kabupaten Bandung meningkat dengan pesat. Pada tahun 2013 produksi sampah per
hari Kabupaten Bandung sebanyak 8.503m3; pada tahun 2012 sebanyak
8.377 m3; 2011 sebanyak 8.249m3; 2010 sebanyak 8.038m3;
2009 sebanyak 7.872m3 ; 2008 sebanyak 7.790m3; 2007
sebanyak 7.600m3; dan 2006 sebanyak 7.495m3. Peningkatan
produksi sampah ini berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk kabupaten
Bandung. Pada tahun 2012 adalah jumlah penduduk Kabupaten Bandung adalah
3.351.048 jiwa, dan pada tahun 2011 sebanyak 3.299.988 jiwa. Sedangkan pada
tahun 2010 sebanyak 3.215.548, meningkat 0.07% dari jumlah pendudukan tahun
2009 yaitu 3.148.951 jiwa. Jumlah tahun 2009 meningkat bila dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya, yaitu: 1,05% bila dibandingkan tahun 2008, meningkat
2,5% bila dibandingkan dengan tahun 2007, dan meningkat 1,4% dibandingkan
dengan tahun 2006. Sedangkan pada tahun 2013 ditargetkan pertumbuhannya
mencapai 1,50%. (www.bandungkab.go.id).
Apa yang harus
kita lakukan dengan peningkatan produksi sampah yang terus meningkat ini? Dan
bagaiamana cara menurunkan tingkat produksi sampah kita?
Sampah
Kita, Tanggung-jawab Kita!
Setiap manusia
dapat dipastikan menghasilkan sampah dalam aktivitas kesehariannya. Dan kita
tidak bisa menyerahkan permasalahan sampah ini hanya kepada pemerintah dan
bahkan menyalahkan pemerintah atas dampak yang ditimbulkan dari masalah
persampahan yang sebenarnya adalah sampah kita hasilkan sendiri. Kita harus
berpartisipasi dalam penanganan permasalahan ini salah satunya dengan cara 3R.
3R (Reduce, Reuse, Recycle), merupakan suatu metode, dimana
penanganannya mempunyai beberapa opsi. Arti dari Reuse,
Reduce maupun Recycle yaitu Reuse (guna ulang) yaitu
kegiatan penggunaan kembali sampah
yang masing dapat digunakan baik untuk fungsi
yang sama maupun fungsi lain, contohnya
berupa botol bekas minuman dirubah fungsi jadi tempat minyak goreng, ban bekas, dimodifikasi jadi kursi, pot bunga. Reduce (mengurangi) yaitu
mengurangi segala sesuatu yang
menyebabkan timbulnya sampah, contohnya
ketika belanja membawa kantong/keranjang dari rumah, mengurangi kemasan yang tidak perlu, menggunakan kemasan yang dapat didaur
ulang, misalnya bungkus nasi
menggunakan daun pisang atau
daun jati. Dan Recycle (mendaur
ulang) yaitu mengolah sampah menjadi produk
baru, contohnya sampah kertas diolah menjadi
kertas daur ulang/kertas seni/campuran pabrik
kertas, sampah plastik kresek diolah menjadi kantong kresek, dan lain sebagainya.
Yang terpenting
adalah kita harus sedapat mungkin untuk tidak menghasilkan sampah, paling tidak
dapat mengurangi semaksimal mungkin produksi sampah yang kita hasilkan. Dan
kalau pun kita tetap tidak bisa mengurangi produksi sampah kita, maka hal yang
bisa kita lakukan dan sangat dianjurkan adalah sedapat mungkin sampah yang kita
hasilkan hanyalah sampah organis, dimana sampah organis ini dengan mudah
terurai oleh alam. Dengan begitu, kita akan bisa hidup selaras dengan alam,
sehingga keseimbangan alam akan tetap terjaga. Mari merubah gaya hidup kita ke pola hidup organis. (Muhammad Arif)
0 komentar:
Post a Comment