Thursday, February 20, 2014

Refleksi Ledakan Timbunan Sampah TPA Leuwigajah Bandung


            Pagi dini hari sekitar pukul 02.12 WIB, hujan turun deras seakan ingin membangunkan warga Kampung Cilimus, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung dan Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat - yang sedang tertidur lelap. Waktu yang tak pernah terlupakan tentunya, disaat yang bersamaan - suara gemuruh terdengar jelas ditelinga yang ternyata adalah longsoran sekitar 6,5 ha sampah setinggi 20 meter, dengan luas mencapai 23,6 ha menimbun wilayah tempat tinggal mereka. Keganasan timbunan sampah itu telah menelan korban sebanyak lebih dari 100 (seratus) jiwa dan sekitar 81 (depalan puluh satu) rumah tertimbun akibatnya. Benar, kejadian itu terjadi di hari senin, tanggl 21 februari 2005 silam.
Jeritan minta tolong dan isak-tangis pun tak terbendung warga yang berhasil selamat maupun yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Rasa sakit yang diderita seakan tidak terasa lagi demi menyelamatkan diri dari kejaran longsoran timbunan sampah – hingga sampai proses evakuasi pun berlangsung. Tidak hanya keluarga mereka yang merasakan akibat dari musibah ini, tetapi juga berdampak pada Kota Bandung yang menjadikan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Leuwi Gajah sebagai TPA utama. Sehingga masalah ini berlarut hingga tahun 2006 dan menjadi isu Nasional, karena TPA tidak bisa beroperasi lagi sampah menumpuk di hampir semua TPS di Kota Bandung. Tragedi longsoran sampah terbesar ke dua di dunia (setelah Philipina) sempat menjadikan Kota Bandung sebagai kota “Lautan Sampah”.

Belajar dari kesalahan

Tradegi yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia itu memberikan pelajaran kepada kita, bahwa mengelola sampah dengan menumpuk dan atau meinimbun sampah adalah tindakan yang tidak tepat. Sampah yang bertumpuk dan bercampur antara sampah basah dan sampah kering (sampah organis dan non-organis) mengakibatkan terkumpulnya gas Methan yang pada waktu tertentu dapat meledak, seperti yang telah terjadi 21 februari 2005 silam.
Sudah saatnya kita mengelola masalah persampahan dengan sistem desentralisasi dan meninggalkan sistem sentralisasi yang selama ini kita terapkan dengan pola “kumpul-angkut-buang” ke TPA. Sistem Desentralisasi adalah system pengolaan sampah dengan memusatkan pengelolaan sampahnya lebih dekat pada sumber sampah itu sendiri. Jika setiap kita bisa mengelola sampah yang kita hasilkan masing-masing, maka sekitar 70% (tujuh puluh persen) permasalahan sampah dapat terselesaikan.

Timbulan Sampah Terus Meningkat Setiap Tahun

Menurut standar SNI 19-3964-1994 sampah kota seperti Bandung setiap jiwa menghasilkan 2-2,5 liter sampah/orang atau dalam satuan berat 0,40-0,50kg (kilo gram) sampah/orang. Jika dihitung, maka grafik persampahan Kabupaten Bandung Periode tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 dapat dilihat pada gambar grafik berikut:

Dari grafik diatas kita bisa melihat bahwa dari tahun ke tahun, produksi sampah di Kabupaten Bandung meningkat dengan pesat. Pada tahun 2013 produksi sampah per hari Kabupaten Bandung sebanyak 8.503m3; pada tahun 2012 sebanyak 8.377 m3; 2011 sebanyak 8.249m3; 2010 sebanyak 8.038m3; 2009 sebanyak 7.872m3 ; 2008 sebanyak 7.790m3; 2007 sebanyak 7.600m3; dan 2006 sebanyak 7.495m3. Peningkatan produksi sampah ini berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk kabupaten Bandung. Pada tahun 2012 adalah jumlah penduduk Kabupaten Bandung adalah 3.351.048 jiwa, dan pada tahun 2011 sebanyak 3.299.988 jiwa. Sedangkan pada tahun 2010 sebanyak 3.215.548, meningkat 0.07% dari jumlah pendudukan tahun 2009 yaitu 3.148.951 jiwa. Jumlah tahun 2009 meningkat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu: 1,05% bila dibandingkan tahun 2008, meningkat 2,5% bila dibandingkan dengan tahun 2007, dan meningkat 1,4% dibandingkan dengan tahun 2006. Sedangkan pada tahun 2013 ditargetkan pertumbuhannya mencapai 1,50%. (www.bandungkab.go.id).
Apa yang harus kita lakukan dengan peningkatan produksi sampah yang terus meningkat ini? Dan bagaiamana cara menurunkan tingkat produksi sampah kita?

Sampah Kita, Tanggung-jawab Kita!

Setiap manusia dapat dipastikan menghasilkan sampah dalam aktivitas kesehariannya. Dan kita tidak bisa menyerahkan permasalahan sampah ini hanya kepada pemerintah dan bahkan menyalahkan pemerintah atas dampak yang ditimbulkan dari masalah persampahan yang sebenarnya adalah sampah kita hasilkan sendiri. Kita harus berpartisipasi dalam penanganan permasalahan ini salah satunya dengan cara 3R.  
3R (Reduce, Reuse, Recycle), merupakan suatu metode, dimana penanganannya mempunyai beberapa opsi. Arti dari Reuse, Reduce maupun Recycle yaitu Reuse (guna ulang) yaitu kegiatan penggunaan kembali sampah yang masing dapat digunakan baik untuk fungsi yang sama maupun fungsi lain, contohnya berupa botol bekas minuman dirubah fungsi jadi tempat minyak goreng, ban bekas, dimodifikasi jadi kursi, pot bunga. Reduce (mengurangi) yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah, contohnya ketika belanja membawa kantong/keranjang dari rumah, mengurangi kemasan yang tidak perlu, menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang, misalnya bungkus nasi menggunakan daun pisang atau daun jati. Dan Recycle (mendaur ulang) yaitu mengolah sampah menjadi produk baru, contohnya sampah kertas diolah menjadi kertas daur ulang/kertas seni/campuran pabrik kertas, sampah plastik kresek diolah menjadi kantong kresek, dan lain sebagainya.
Yang terpenting adalah kita harus sedapat mungkin untuk tidak menghasilkan sampah, paling tidak dapat mengurangi semaksimal mungkin produksi sampah yang kita hasilkan. Dan kalau pun kita tetap tidak bisa mengurangi produksi sampah kita, maka hal yang bisa kita lakukan dan sangat dianjurkan adalah sedapat mungkin sampah yang kita hasilkan hanyalah sampah organis, dimana sampah organis ini dengan mudah terurai oleh alam. Dengan begitu, kita akan bisa hidup selaras dengan alam, sehingga keseimbangan alam akan tetap terjaga. Mari merubah gaya hidup kita ke pola hidup organis. (Muhammad Arif)

0 komentar: